Sunday, May 03, 2009

PEMILU 2009 & KONFIGURASI POLITIK ACEH MASA DEPAN


Written by Saiful Akmal | Divisi Riset dan Kajian The Aceh Institute
SEPERTINYA Aceh memang (terlahir) untuk menjadi istimewa dalam segala dimensinya. Sejak masa perjuangan kemerdekaan sampai sekarang, kelihatannya gelar itu masih sangat melekat bagi Aceh. Karena Aceh memang sumber sejarah, Aceh yang menjadi daerah modal ketika republik muda Indonesia sedang dalam masa kritis. Aceh yang menyumbangkan pesawat Garuda kepada Soekarno. Aceh yang mendapatkan gelar istimewa dan syariat islam. Aceh juga yang mendapat status darurat militer, darurat sipil dan tertib sipil. Aceh pula yang kemudian dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur dari kandidat independen dalam Pilkada 2006 lalu. Dan yang terbaru. Aceh dan Indonesia menyaksikan bagaimana masyarakat menaruh harapan besar kepada mantan kombatan yang mengalihkan perjuangan gerilyanya menjadi perjuangan politik di parlemen.

Itulah sederet sejarah yang sudah (dan mungkin akan terus) ditoreskan oleh rakyat Aceh kepada dunia. Begitu banyak pelajaran berharga dan pengalaman bernas dari Aceh. Kita belajar dari Pemilu kali ini bagaimana konteks ideologi pilihan masyarakat beralih dari ideologi islam nasional menuju ke ideologi nasionalis ke-Acehan. Meskipun harus diakui pula bahwa kemenangan Partai Demokrat (PD) dan masih relatif stabilnya suara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) (meskipun menurun sementara keperingkat 3-karena pada pemilu 2004 lalu, PKS menjadi pemenang di ibukota Banda Aceh) masih merefleksikan harapan mereka kepada ideologi nasionalis dan islamis, sebagaimana kemenangan PPP pada beberapa Pemilu masa Orde Baru dan PAN paska reformasi. Jelas sekali pesan yang ingin disampaikan masyarakat lewat Pemilu kali ini, bahwa mereka memang siap dengan hal-hal baru dan jenuh dengan status quo- kalau itu kemudian sedikit atau bahkan sama sekali tidak membawa perubahan. Hasil pemilu tahun ini adalah wujud dari emosi bersama rakyat Aceh. Namun ini tidak boleh menjadikan elit politik partai lain kemudian gundah, karena ternyata animo dan rasionalitas pemilih di Aceh cukup baik, karena mereka pasti akan memberikan hukuman kepada yang sudah diberikan kesempatan, sebagaimana yang kita saksikan kepada Golkar, PDI dan PPP. Artinya tidak tertutup kemungkinan kedepan jika kinerja parlemen dan pemerintah sekarang buruk, mereka juga akan beralih ke yang lain di pemilu-pemilu mendatang.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah bergesernya konstelasi politik nasional menuju dinamika politik dan isu lokal. Ini menjadi menarik, karena inilah keunikan di Aceh. Isu-isu nasional hampir bisa dipastikan tidak menjadi isu yang seksi lagi di Aceh. Sebaliknya isu-isu lokal menjadi semakin populer, diprioritaskan dan akan terus disuarakan dalam ranah perpolitikan nanggroe. Disatu sisi ini menjadi nilai plus, dikarenakan eksekutif dan legislatif akan lebih fokus mensejahterakan dan memperhatikan publik. Kelebihan lain adalah posisi tawar pemerintahan daerah Aceh akan semakin menguat. Namun disisi lain, bisa jadi ini akan menjadi sebuah ruang kosong, khususnya jika pemerintah daerah tidak merespon isu-isu nasional yang mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung ke Aceh. Paling tidak pemerintah Aceh harus terus up-date dengan perkembangan politik dan kebijakan nasional secara umum.

Pesan lain yang kita bisa ambil barangkali adalah berfungsinya pemilu sebagai sarana transformasi konflik di Aceh. Perubahan perjuangan GAM dari konfrontatif menuju diplomatis sebenarnya sudah mulai menampakkan hasil pada Pilkada 2006 lalu. Namun asa dan apresiasi masyarakat semakin terlihat pada Pemilu kali ini, ketika PA kemungkinan besar akan memenangkan Pemilu legislatif dan diprediksi akan menguasai parlemen di tingkat DPRK dan DPRA. Jika ini benar, maka tidak ada alasan lagi bagi eksekutif atau gubernur yang juga nota bene adalah orang penting di PA untuk tidak maksimal dalam melayani rakyat Aceh. Agenda parlemen kedepan diharapkan memang bisa benar-benar mewakili kepentingan mayoritas konstituen-yang dalam hal ini adalah masyarakat Aceh dan bukan kepentingan golongan dan elit PA saja.

Dominannya suara Partai Aceh (PA) memang sudah diprediksikan oleh banyak kalangan. Misalkan oleh riset yang diadakan oleh Access Research Indonesia bekerjasama dengan lembaga lokal-Komunitas Pemuda Intelektual (KPI) Aceh bulan Februari 2009 lalu menempatkan PD dan PA sebagai partai pilihan publik, disusul PKS ditempat ketiga, khususnya di Banda Aceh dan Kota-Kota Besar di Aceh. Terlepas dari kacau-balaunya sistem administrasi Pemilu kali ini, ditambah adanya indikasi kecurangan disana-sini, harus diakui bahwa kita banyak mendapat pelajaran berarti. Adalah tidak arif kalau kemudian kita membenarkan yang salah dan mensalahkan yang benar sehingga menafikan adanya ketidak profesionalan KIP/KPU dan adanya aroma kekerasan, kecurangan dan manipulasi data. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa masyarakat sudah menentukan pilihannya. Dan kita harus menghargai itu. Tinggal kita sama – sama mengawal bagaimana arah serta nasib masa depan Aceh ditangan anggota parlemen baru periode mendatang [] Saiful Akmal | Divisi Riset dan Kajian The Aceh Institute

Kolom ini Kerjasama antara Aceh Institute dengan Harian Aceh | Artikel ini sudah pernah dimuat di Koran Harian Aceh, Selasa 140409.

0 comments:

Next previous home
 

DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI SIRA (DPP) Copyright © 2008 Black Brown Pop Template by Ipiet's Edit Udin