Sunday, May 03, 2009

ARAH KOMUNIKASI POLITIK ACEH


Keseimbangan antara penataan struktur, proses, dan budaya politik merupakan salah satu
demokratisnya sistem sosial budaya dan politik Aceh Indonesia. Sufrastruktur dan
Infrastruktur dalam sistem sosial budaya dan politik Aceh Indonesia harus mempunyai
keseimbangan, kalau tidak mempuyai keseimbangan, demokrasi Aceh Indonesia jalan
ditempat, tidak berjalan, dan mati suri. Format sosial budaya dan politik masa depan Aceh
Indonesia yang ideal harus mengacu pada pengembangan kehidupan masyarakat Aceh
berbangsa dan bernegara dengan tidak mengabaikan dimensi religius, nilai-nilai budaya
masyarakat Aceh, solidaritas, kritis, dan kualitas.

Pendahuluan
Terkesima dengan rangkaian berita Kompas, 16 September 2005 yang cukup holistik. Betapa
tidak, Pemerintah akan membagikan Rp. 5.000,-/hari sebagai jaminan hidup kepada anggota
GAM sebagai dana integrasi selama 3 – 6 bulan . Pemerintah akan membagikan Rp. 100.000.-
/bulan kepada 15.5 juta penduduk miskin selama satu tahun.
Saya hanya bisa membayangkan andaikata saya warga negara tetangga, mendengar
kebijakan pemerintah Indonesia yang demikian. Pemerintah Indonesia terkesan sangat kaya
dengan penuh perhatian terhadap rakyatnya, pemberi, pemaaf dan pengayom. Indah lah
negara yang demikian ! Bukan bermaksud membandingkan dengan negara lain, kaya tidak
atau langka mengambil kebijakan seperti pemerintah Indonesia. Di balik itu semua, bukankah
Indonesia mengalami krisis keuangan dan utang yang besar ? Ada apa sebenarnya ?
Pengamat pernah memberi istilah, Pemerintah Indonesia sekarang katanya tidak
punya visi ke depan, tidak memiliki program kerja yang jelas. Pemerintah mengambil
kebijakan terkesan yang populis daripada yang substantif. Pemerintah mengambil kebijakan
berhitung keuntungan ekonomi daripada keuntungan martabat. Pemerintah mengambil
kebijakan terkesan mengutamakan kepentingan negara lain daripada warga sendiri.
Pemerintah mengambil kebijakan terkesan sebagai pemadam kebakaran dimana setelah terjadi
masalah baru bertindak.
Pemberian istilah tersebut, merajut istilah baru pemerintah melakukan money politik.
Dalam mengatasi persoalan bangsa pemerintah sekarang sering menyuguhkan uang kepada
rakyat. Pemberian uang konpensasi, uang integrasi, dan pemberian uang jaminan pengaman
sosial. Masalah pemberian uang akan menyelesaikan persoalan sementara selama uang masih
ada. Masalah akan muncul kembali bila uang telah habis. Lebih berbahaya lagi bila pemberian
uang menciptakan ketergantungan dan menjadi tuntutan bila menemui persoalan. Ujungujungnya
pemberian uang juga dapat melemahkan kreativitas.
Alamat pemberian uang subsidi perlu memang diteliti, tetapi lebih baik bila anggota
dewan yang menatanya dan menyelesaikannya. Kembali kepada permasalahan yaitu
membangun sistem sosial budaya dan politik Aceh masa depan, ketidak seimbangan antara
penataan struktur, proses, dan budaya politik merupakan salah satu sebab belum
demokratisnya sistem sosial budaya dan politik Aceh Indonesia. Selain itu, pembangunan

sistem sosial budaya dan politik Aceh Indonesia yang telah dilaksanakan selama ini masih
belum mampu memberikan peran yang cukup besar kepada infrastruktur politik.
Dominannya peran sufrastruktur terhadap infrastruktur politik tersebut memunculkan
kecenderungan perilaku politik yang berdasarkan patron client. Padahal nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam masyarakat Aceh Indonesia menolak faham yang sempit tersebut.
Kecenderungan perilaku dan budaya yang demikian selain tidak sesuai dengan
tuntutan masa depan, juga tidak sesuai dengan budaya, falsafah, dan nilai luhur masyarakat
Aceh Indonesia.
Dengan demikian perlu dipikirkan dan dikembangkan suatu format sistem sosial
budaya dan politik yang sesuai dengan tuntutan masa depan, mampu menjawab keperluan
zaman, dan mampu mengembangkan nilai luhur budaya bangsa Aceh Indonesia.
Metodologi
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan metode kualitatif dengan analisa
dokumen dan wawancara. Metode kualitatif ini digunakan kerana beberapa pertimbangan.
Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan
ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara pengkaji dan
responden; ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak
penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Kerangka Isu
Sebelum berbicara tentang format sistem sosial budaya dan politik masa depan, kita perlu
melihat format sistem sosial budaya dan politik selama ini dengan mengajukan pertanyaan:
Adakah masalah substansial yang krusial sehingga format yang tampak dianggap
kurang optimal dalam manampung akselerasi gerak partisipasi masyarakat karena peningkatan
pendidikan dan kesejahteraan masyarakat dan tuntutan self government.
Ada beberapa isu pokok yang perlu dicermati, yaitu:
1. Hubungan antara institusi politik (legislatif, eksekutif, yudikatif) menumbuhkan
ketidaktaatan asas pada pola kerja hubungan antar institusi politik Aceh Indonesia.
2. Adanya arus baru yang memerlukan pengcoveran sebagai ekspresi interaksi antara
masyarakat (informal politik) dengan lembaga pemerintah (formal politik).
3. Bagaimana pembentukan kultur politik terbangun melalui optimalnya fungsi struktur
politik, tidak sebaliknya struktur bekerja mengikuti kultur.
4. Pengembangan dan pengayaan variasi peran masyarakat (individu, kelompok
masyarakat, organisasi massa) dalam proses penyelesaian problem dan antisipasi
terhadap tantangan mendatang harus mendapatkan prioritas pengikhtiarannya.
5. Bahwa pembakuan partai kedalam 2 barisan (yang memerintah dan yang menjadi
oposisi) / barisan partai lokal dan barisan partai nasional menciptakan kestabilan
keamanan dan poltik.
6. Bahwa pembakuan partai kedalam 2 barisan orsospol/barisan partai lokal dan barisan
partai nasional secara psikologis mendatangkan beberapa konstrain, yaitu adanya
mispersepsi tentang kedua barisan orsospol, terlebih pada aspek positioning orsospol
dalam politik.

Pengembangan Kehidupan Bermasyarakat dan Berbangsa
Berdasarkan isue tersebut diatas yang dipadukan dengan kondisi objektif masyarakat, maka
Aceh Indonesia dihadapkan pada problematika dalam membangun masyarakat kebangsaan
Aceh Indonesia. Bangunan masyarakat kebangsaan termaksud adalah sebagai proses
pemaknaan dan pemuatan nilai luhur masyarakat sebagai ideologi bangsa Aceh Indonesia.
Artinya, dinamika bangsa sebagai unsur dinamik senantiasa menuntut terbukanya
kesempatan-kesempatan baru bagi penguatan basis kemasyarakatan. Dengan kata lain,
terjadinya proses reduksi bagi perbedaan yang destruktif sekaligus terjadinya proses induksi
perbedaan yang konstruktif.
Oleh karena itu, dimensi pokok yang harus memaknai pengembangan kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa Aceh Indonesia adalah:
1. Dimensi Religius. Proses penguatan dimensi ini dimaksudkan sebagai pemberian
peluang bagi individu/masyarakat untuk mengembangkan dorongan keberagamaan
bagi terwujudnya masyarakat yang etis dan bermoral.
2. Dimensi Solidaritas. Terlalu banyak faktor pemisah, baik geografis, etnis (berbagai
suku bangsa di Aceh), maupun tradisi fanatik suku yang terbangun membutuhkan
suatu instrumen bagi berkembangnya rasa saling peduli, kepekaan, dan mau tahu.
Migrasi secara etnis maupun geografis merupakan program prioritas dalam
menumbuhkan wawasan kebangsaan Aceh Indonesia.
3. Dimensi Kritis. Pengembangan masyarakat sebagai suatu keluarga seharusnya tidak
menghilangkan sikap kritis individu sebagai upaya maksimal dalam mencapai tujuan
bersama. Sikap kritis ini memiliki tiga muatan, yaitu kepekaan, keberanian, dan
ketulusan bagi akselerasi pencapaian tujuan masyarakat Aceh Indonesia.
4. Dimensi Kualitas. Sebagai masyarakat yang memiliki berbagai suku bangsa dan
pengkondisian kompetitif mengacu pada suatu acuan yaitu kualitas. Dengan acuan ini,
maka keberlindungan dengan kemasan yang menghilangkan kualitas seperti
koneksitas, primodialisme sempit, kolusi, korupsi, nepotisme, fanatik kesukuan dan
lain-lain dapat terkuat dan menjadi sesuatu yang kedaluarsa.
Format Sistem Sosial Budaya dan Politik Masa Hadapan Aceh Indonesia
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian untuk tercapainya format kehidupan sosial
budaya dan politik masa hadapan, yaitu mewujudkan sistem sosial budaya, dan politik sebagai
berikut: Pengurusan atau pemerintahan Gampong, Mukim, Daerah, Nanggro. Pembaharuan
ketatanegaraan Aceh sangat diperlukan sebagun dengan semangat dan tujuan self goverment
yang dimiliki.
Pengurusan atau pemerintahan Gampong
Pengurusan dan pemerintahan Gampong terdiri atas tiga unsur yaitu:
Keuchik dibantu oleh seorang atau beberapa orang wakil (wakil), Teungku, Ureueng tuha.
Keuchik ialah pemimpin atau bapak gampong, yang menerima wewenangnya dari masyarakat
gampong. Jabatan ini sama halnya dengan seluruh jabatan di Aceh Indonesia adalah jabatan
yang dipilih dalam muafakat oleh masyarakat gampong. Keuchik pada hakikinya bahawa
dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga gampongnya, baik berhadapan
dengan gampong–gampong lainnya, ataupun terhadap tuntutan-tuntutan yang berlebih-lebihan
dari warga gampong itu sendiri. Orang Aceh sering mangutip-utip dalam rapat-rapat:
”keuchik” eumbah, teungku ma” yaitu kechik ibarat bapak, teungku ibarat ibu.
Seluruh penduduk gampong yang cinta damai merasa yakin bahawa mutlak
dibutuhkan seseorang yang berbicara dan berunding atas nama seluruh warga; apalagi seperti

beraneka urusan keluarga (perkawinan, perceraian, pengasuhan anak yatim piatu, soal pindah
rumah). Sumber pendapatan keuchik. Keuchik adalah jabatan kehormatan, dan sebenarnya
pendapatan yang akan diperolehinya menurut adat sungguh tak seberapa. Pendapatan itu
terbatas hanya kepada apa yang disebut ”ha’ katib” atau ”ha’ cupeng”, yaitu imbalan untuk
bantuan yang diperlukan dari keuchik itu untuk pernikahan warga gampongnya dan urusanurusan
lain yang berkaitan dengan urusan gampong.
Jabatan keuchik di Aceh, sebagai bapak warga gampongnya, dihargai tinggi, terutama
karena sifat kehormatannya, namun juga karena keuntungan nyata yang terlekat pada jabatan
ini. Sebagai bawahannya, yang secara nyata lebih banyak membantu keuchik itu dibandingkan
warga gampong lainnya, ialah waki-nya yaitu wakil atau kuasanya. Setiap keuchik paling
tidak dibantu oleh seorang waki.
Wewenang Keuchik. Kewajiban keuchik dengan bantuan punggawa gampong lainnya
yang setiap waktu dapat dipanggil untuk diberi tugas, untuk memelihara tertib-aman, serta
juga mengusahakan kesejahteraan penduduk sepenuh kemampuannya. Berkenaan dengan
kesejateraan itu, jumlah cacah jiwa merupakan faktor penting. Kerana itu dianggap wajar
bahwa seorang bapak dengan ketat mengawasi gerakan keluar masuk warga gampongnya, jika
hal itu dapat berakibat mengurangkan jumlah penduduknya.
Teungku. Teungku adalah ”ibu” warga gampongnya. Teungku adalah gelar yang
diberikan umumnya di Aceh kepada orang yang mengemban jabatan yang berkaitan agama
atau yang berbeda dari penduduk awam umumnya kerana lebih sempurna pengetahuan
agamanya atau pun lebih khusyuk menunaikan ibadah. Sebagai teungku meunasah selayaknya
bagi ”ibu gampong” itu menjadi kewajiban menjamin agar ”gedung meunasah” itu sesuai
keadaannya dengan tujuan keagamaannya. Namun hal ini jarang terjadi, dan dalam keadaan
langka terjadinya itu; ini lebih banyak diakibatkan oleh salehnya bapak keuchik daripada
ketekunan kerja si ibu teungku itu. Dalam pemerintahan gampong di Aceh teungku tugasnya
mengurusi urusan keagamaan warga gampong. Sedangkan sumber penghasilan teungku dari
Pitrah(fitrah), jakeuet (zakat), Imbalan uang untuk pengurusan pernikahan, ha’ teuleukin
(uang talkin), persengketaan warga gampongnya.
Ureung Tuha. Kaum ureueng tuha, yang tepat setara dengan yang disebut orang tua di
kalangan kita, adalah kaum yang berpengalaman, kebijaksnaan, bersopan-santun dan cukup
berpengetahuan tentang hal adat dalam suatu gampong. Jumlah anggota dewan ureueng tuha
itu tidaklah tentu; dan para anggotanya bukanlah diangkat tetapi dipilih atas kesepakatan
bersama. Keanggotaan ureueng tuha kerana diakui kebijakannya, pengalamannya atau
pengetahuannya tentang adat, dengan sendirinya akan diakui orang sebagai warga ureueng
tuha itu dan pendapatnya akan diindahkan pada dalam rapat muafakat.
Mufakat. Orang Aceh masyhur sebagai kaum penggemar apa yang disebut mufakat.
Persoalan-persoalan yang paling sepele pun dijadikan alasan untuk pertukaran pendapat yang
ramai-ramai. Para kepala adat untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang menyangkut
dengan daerahnya serta warga daerahnya harus ada dan hadir pula beberapa orang tokoh yang
dapat dianggap sebagai wakil dari golongan atau daerah bersangkutan, karena kalau lalai bila
lalai berbincang-bincang dengan wakil itu, keptusan mufakat tidak sah.
Mukim dan Adminitrasi Pemerintahannya
Di antara para pejabat gampong dengan penguasa daerah terdapat para imum, yang
mengepalai daerah mukim. Wilayah Aceh dibagi menjadi beberapa distrik yang diberi sebutan
mukim dengan jabatan imum sebagai kepala distrik. Lembaga ini timbul di Aceh kerana
pengaruh kaum ulama dan tokoh-tokoh keagamaan.

Tujuan asli pembentukan mukim. Tujuan semula dapat dilihat dari penggunaan istilah
mukim itu. Mukim ialah suatu istilah Arab, yang makna sebenarnya ialah penduduk suatu
tempat. Hukum Islam, menurut mazhab Syafii yang unggul di tanah Aceh, menentukan bahwa
untuk menegakkan jemaat hari jumaat mutlak diperlukan kehadiran paling sedikit 40 orang
mukim yang termasuk golongan penduduk bebas yang telah dewasa.
Di Aceh, mukim mempunyai peranan untuk mengkoodinirkan gampong-gampong,
supaya gampong-gampong berjalan sesuai dengan tatanan yang telah disepakati oleh
musyawarah gampong, dalam peranannya mukim berlandaskan kepada nilai-nilai Islam.
Imum mukim menjadi tokoh yang dapat diteladani oleh pemerintah gampong-gampong, untuk
itu pengetahuan agama dan kepemimpinan sangat menjadi yang utama yang harus dimiliki
oleh imum mukim, kerana peranan yang dimainkan oleh imum mukim selain memimpin
pemerintahan dan juga menjadi pemimpin agama. Imum mukim dipilih oleh musyawarah
masyarakat semukim itu yang anggota-anggota dari pengetua2 gampong (keuchi’), cerdik
pandai, dan ureng tuha.
Daerah dan administrasi pemerintahannya
Para pengetua daerah adalah yang dipertuan di negeri masing-masing, dan merupakan kepala
daerah par exellence, mereka mempunyai kekuasaan autonom. Dalam menjalankan peran dan
tugas pemerintahan pengetua daerah di bantu oleh yang mengurusi administrasi pemerintah.
Pengetahuan daerah dipilih langsung oleh masyarakat lewat pemilu yang diadakan.
Nanggroe dan administrasi pemerintahannya
Kepala pemerintahan naggro disebut wali nanggro yang berperan dan mempunyai tugas
sebagai koordinator pengetua-pengetua daerah. Wali Nanggro dipilih oleh pengetua-pengetua
daerah dan anggota parlimen daerah dan para utusan cerdik pandai dari golongan agama dan
cerdik pandai dari golongan non agama dalam sebuah musyawarah. Dalam menjalankan
kepemimpinannya wali nanggro dibantu oleh kepala administrasi pemerintahan yang dipilih
langsung oleh rakyat dalam pemilu.
Penutup
Pembangunan adalah tuntutan perubahan. Perubahan dalam kerangka kemajuan dan
kehidupan yang lebih baik serta perubahan yang direncanakan. Wujud dari sebuah perubahan
dapat berupa reformasi/ pembaharuan dan restrukturisasi. Pembaharuan harus konsisten dan
merupakan bagian dari implementasi dan kesinambungan dari konsep, kebijakan, dan strategi
pembangunan bangsa. Format sosial budaya dan politik masa depan Aceh Indonesia yang
ideal harus mengacu pada pengembangan kehidupan masyarakat Aceh berbangsa dan
bernegara dengan tidak mengabaikan dimensi religius, nilai-nilai budaya masyarakat Aceh,
solidaritas, kritis, dan kualitas.
Rujukan
Miriam Budirdjo. 2001. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia
Feith, Herbert. 1962. The decline of constitutional democracy in Indonesia. Itchaca: Cornell
University Press.
Snouck Hurgronje. 1985. Aceh di mata kolonialis. Jakarta: Yayasan Soko Guru.
Alfian. 1985. Pemikiran dan perubahan politik Indonesia. Jakarta: Gramedia.


0 comments:

Next previous home
 

DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI SIRA (DPP) Copyright © 2008 Black Brown Pop Template by Ipiet's Edit Udin