Wednesday, November 26, 2008

Partai Politik Harus Miliki NPWP: Implikasi Perpajakan

0 comments

Implikasi Perpajakan Bagi Partai Politik.


Sesuai dengan penjelasan ketentuan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh 2000, yang
dimaksud dengan badan adalah " ... organisasi sosial politik, atau organisasi
yang sejenis ...". Pengertian orsospol termasuk didalamnya adalah partai
politik. Dengan demikian partai politik adalah subyek pajak menurut UU ini.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 1 UU KUP 2000, parpol menjadi Wajib Pajak
karena terhadapnya dikenakan kewajiban perpajakan.

Apa kewajiban perpajakan tersebut? Selain mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP, parpol juga diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan dan SPT Masa, dan
melaporkan penghasilannya serta berkewajiban membayar pajak terhutang, memotong
dan memungut pajak, dsb. Namun demikian dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya, parpol memiliki ciri-ciri khusus yang tidak terdapat pada wajib
pajak lainnya. Sebagaimana halnya dengan yayasan, organisasi massa dan
sejenisnya, parpol ini digolongkan dalam non-profit organization (NPO).

Penghasilan NPO utamanya berasal dari sumbangan, baik yang mengikat maupun
tidak, baik yang tetap (kontinyu) maupun yang tidak tetap (sekali-sekali).
Sumber penghasilan demikian tidak kita temukan dalam entitas profit lainnya.
Dikarenakan sifat penghasilan yang seperti ini, maka parpol disarankan untuk
memisahkan sumber penghasilannya, yakni (1) penghasilan sumbangan tetap dan (2)
sumbangan tidak tetap.

(1) Penghasilan Sumbangan Tetap

Penghasilan yang berasal dari sumbangan tetap ini biasanya berasal dari iuran
anggota parpol itu sendiri. Dari pemberitaan2 di koran, umumnya parpol mengambil
kebijakan untuk memotong penghasilan para kader yang duduk di lembaga
legislatif, ataupun eksekutif. Jumlahnya pun biasanya ditetapkan berdasar
kesepakatan organisasi parpol itu sendiri. Sumbangan tetap ini menurut saya
besar kemungkinan bukan termasuk dalam pengertian sbgmana diatur dalam ketentuan
pasal 4 ayat (3) huruf a angka (1) beserta penjelasannya. Atau dengan kata lain,
sumbangan yang berasal dari anggota parpol sendiri adalah obyek pajak, karena
tidak memenuhi syarat ketiadaan hubungan kerja diantara penyumbang (anggota
parpol) dan parpolnya. Adanya hubungan kerja antara anggota parpol dan induk
partainya membuat sumbangan ini menjadi obyek pajak. Dengan sendirinya,
sumbangan yang diberikan oleh anggota tadi dapat mengurangi penghasilan kena
pajak anggota parpol tersebut.

A. Point to discuss:
1. Apa dan bagaimana pengertian 'hubungan kerja' dimaksud UU PPh 2000?
2. Apakah makna hubungan kerja tsb dapat diterapkan dalam hubungan antara
anggota parpol yang duduk di legislatif dengan induk parpolnya?

(2) Penghasilan Sumbangan Tidak Tetap

Penghasilan sumbangan ini bersifat tidak tetap, tidak kontinyu atau aksidental
(sekali-sekali). Pada umumnya penghasilan ini mengalir pada saat parpol tersebut
mengadakan hajatan, misalnya menjelang muktamar partai atau Pemilu. Sumbangan
inilah biasanya yang mengundang polemik sbgmana selama ini diberitakan, karena
jumlahnya melebihi batas ketentuan minimal sbgmana diatur dalam ketentuan pasal
14 ayat (1) UU no. 2/1999. Sumbangan tidak tetap ini biasanya berasal dari
simpatisan, maupun para pejabat partai yang memiliki hubungan entah itu hubungan
kerja atau lainnya. Ketentuan pajak tidak membatasi jumlah batas minimal
sumbangan kepada partai. Hanya saja, sumbangan ini harus memperhatikan ketentuan
sbgmana dimaksud pasal 4 ayat (3) huruf a angka (1). Jika sumbangan tersebut
terdapat unsur hubungan kerja dimaksud pasal tersebut, maka dengan sendirinya
sumbangan itu menjadi obyek pajak bagi parpol. Sebaliknya, bagi si penyumbang,
sumbangan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan. Jangan lupa, terdapat
ketentuan bagi si penyumbang untuk melampirkan daftar nominatif beserta bukti
sumbangan, agar sumbangan tadi dapat dikurangkan dari penghasilannya.

B. Point to discuss:
1. Apakah sumbangan harus berupa uang? Bagaimana seandainya kantor Akuntan
Publik menyumbang jasa audit kepada sebuah parpol pujaannya?

Konsekuensi dari penggolongan penghasilan utama berupa sumbangan akan
berimplikasi pada pelaporan SPT Tahunan dan SPT Masa parpol tersebut, khususnya
dalam perhitungan menentukan besarnya PPh pasal 25 setiap bulannya.

Contoh:

Partai A pada tahun 2000 memperoleh penghasilan sumbangan yang masuk kategori
obyek pajak, sbb:

Penghasilan Sumbangan Tetap Rp. 100.000.000
Penghasilan Sumbangan Tidak Tetap Rp. 200.000.000
Total Sumbangan Rp. 300.000.000
Biaya-biaya Rp. 200.000.000
Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000
Asumsi tarif pajak 30% Rp. 30.000.000
Penghasilan Setelah Pajak Rp. 70.000.000

Asumsi tidak ada potongan, pungutan atau kredit pajak. Maka perhitungan setoran
masa untuk tahun 2001 adalah Rp. 30.000.000/12 bulan = Rp. 2.500.000.

Dengan adanya komponen penghasilan yang berasal dari Sumbangan Tidak Tetap
sebesar Rp. 200.000.000 yang sifatnya aksidental maka besar setoran masa akan
terasa memberatkan. Jika tahun 2001 ternyata sumbangan ini menurun drastis, bisa
dipastikan partai A akan mengalami kelebihan pembayaran. Sebaliknya jika
ternyata sumbangan tidak tetap ini meningkat drastis, maka partai A akan
mengalami kekurangan pembayaran yang cukup besar pula.

C. Point to discuss:
1. Bagaimana menentukan formula yang tepat yang dapat memperhitungkan besarnya
setoran masa dengan mengakomodasi kedua jenis penghasilan tersebut, sehingga
tidak memberatkan partai namun juga tidak merugikan negara dalam arti setoran
masa yang lebih sesuai dengan penghasilan real partai tersebut?

Implikasi Perpajakan Hubungan Pusat dan Cabang Partai Politik

Diluar permasalahan teknis tersebut, ada hal yang mengemuka yang perlu kita
pikirkan bersama. Sebagaimana kita ketahui bersama, organisasi parpol memiliki
cabang-cabang di seluruh wilayah propinsi. Saya belum mengetahui lebih dalam
tentang seluk beluk hubungan antara pusat dan cabang partai ini (mungkin
diantara para pembaca bisa menyumbangkan pengetahuannya tentang hal ini di milis
ini). Namun untuk tidak menghambat diskusi, kita asumsikan saja hubungan antara
pusat dan cabang menjadi dua sifat, yakni (1) independen terbatas, dan (2) murni
independen.

Sifat yang pertama - independen terbatas - berarti segala kebijakan cabang harus
melalui persetujuan pusat. Dengan kata lain, dalam hal penerimaan sumbangan dan
pengeluarannya, cabang harus meminta otorisasi dari pusat. Dengan demikian,
apakah perlakuan perpajakan atas partai ini juga dilakukan secara terpusat
(khusus pasal 25 dan PPN jika ada)? Jika demikian, apakah NPWP dapat diberikan
cukup kepada Pusat saja, dimana cabang2 hanya memperoleh NPWP turunan otomatis
(beda kode wilayah KPP saja) dari Pusat untuk melakukan kewajiban pemungutan dan
pemotongan saja?

Sifat yang kedua - murni independen - berarti cabang dapat memperoleh sumbangan
dan memanfaatkannya tanpa melalui otorisasi pusat. Biasanya, cabang hanya
diwajibkan melaporkan penerimaan dan pemanfaatan sumbangan itu saja ke pusat,
guna kepentingan konsolidasi laporan keuangan. Jika demikian, untuk perlakuan
perpajakan, cabang dapat diperlakukan sebagai entitas tersendiri dimana seluruh
kewajiban perpajakannya melekat sbgmana perlakuan perpajakan terhadap pusat,
dimana cabang bisa menyampaikan SPT Tahunan sendiri.

Apakah memang demikian? Mungkin diantara para peserta milis Forum Pajak ini
dapat melengkapi atau mengkoreksi pemikiran di atas. Silakan berdiskusi!



Salam,
Farid Bachtiar


Rabu, 08 Agustus 2001, 07:00 WIB
Sarapan bersama Donny Ardyanto:
Partai Politik Harus Miliki NPWP


Jakarta, KCM

Belajar dari banyaknya penyimpangan dana sumbangan bagi partai politik, di masa
mendatang partai politik harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) , ungkap
Donny Ardyanto. Pasalnya, partai politik adalah milik publik.

Menurut anggota Divisi Pemantauan Legislatif Indonesia Corruption Watch (ICW)
ini kepada KCM di Jakarta (7/8), partai politik menarik iuran dari anggotanya
untuk membantu pembiayaan kegiatan keseharian, seperti juga kampanye. Selain
itu, seperti tertera pada UU No 2/1999 tentang Partai Politik, parpol juga
diperkenankan menerima sumbangan baik dari setiap orang maupun perusahaan dalam
jumlah tertentu. Masalahnya, meski terbuka untuk diaudit oleh akuntan publik,
perolehan sumbangan tersebut acapkali tidak melalui pencatatan jelas dan
sistematis. "Akibatnya, memang banyak sekali perolehan dana bukan anggaran yang
masuk," ujarnya.

Kasus gugatan terhadap Partai Golkar beberapa waktu lalu sebetulnya juga
mengindikasikan adanya perolehan dana semacam itu. Pasal 14 ayat 1 undang-undang
di atas mengatakan Jumlah sumbangan dari setiap orang yang dapat diterima oleh
partai politik sebanyak-banyaknya adalah Rp 15.000.000,00 dalam waktu satu
tahun. Masalahnya, sumbangan pribadi dari AA Baramuli dalam kasus Partai Golkar
itu saja diduga jauh melebihi angka tersebut yakni satu milyar rupiah.

Bertolak dari situlah, berkaitan dengan logika seperti lembaga publik lain, ada
suatu mekanisme pemaksa baru bagi parpol untuk melaporkan keuangan. Hal ini
diperlukan agar lalu lintas keuangan parpol bisa diketahui secara terbuka oleh
khalayak banyak, dari mana dan untuk apa saja dana tersebut digunakan. "Makanya,
partai politik harus memiliki NPWP tadi," katanya.

Sebagai langkah awal, pajak yang bisa dikenakan kepada partai adalah Pajak
Penghasilan (PPh). Alasannya, parpol juga membayar gaji bagi tenaga profesional
yang bekerja di kantor partai. "Nantinya, ketika parpol menerima sumbangan apa
pun dari siapa pun, hal itu harus diposisikan sebagai penghasilan parpol,"
tegasnya seraya menekankan kembali pentingnya transparansi pengelolaan keuangan
agar masyarakat tak tersandung lagi pada kasus masih dipertahankannya Partai
Golkar berdasar gugatan tadi. (udin)

Wednesday, November 05, 2008

0 comments

Next home
 

DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI SIRA (DPP) Copyright © 2008 Black Brown Pop Template by Ipiet's Edit Udin